FAST

Fast Food Indonesia (FAST) Hadapi Tekanan Berat, 19 Gerai KFC Ditutup

Fast Food Indonesia (FAST) Hadapi Tekanan Berat, 19 Gerai KFC Ditutup
Fast Food Indonesia (FAST) Hadapi Tekanan Berat, 19 Gerai KFC Ditutup

JAKARTA - Di tengah ketatnya persaingan bisnis makanan cepat saji dan lemahnya daya beli masyarakat, PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST), pengelola jejaring restoran KFC di Indonesia, kembali mengambil langkah berat. 

Sepanjang 2025 hingga September, perseroan menutup 19 gerai sekaligus memangkas sekitar 400 karyawan.

Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa pemulihan bisnis KFC di Indonesia masih jauh dari kata tuntas, meski pandemi Covid-19 sudah berlalu. Penutupan gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menegaskan betapa seriusnya tekanan yang dihadapi perseroan dalam menjaga keberlanjutan bisnis.

Relokasi hingga Kontrak Sewa Habis

Direktur Fast Food Indonesia, Wachjudi Martono, menuturkan bahwa alasan penutupan gerai beragam. Ada yang karena kontrak sewa lokasi sudah berakhir, ada pula yang disebabkan gerai tidak mengalami pemulihan berarti sejak 2020.

“Kemudian beberapa karyawan terimbas PHK, ada sekitar 400 karyawan,” ujar Wachjudi.

Meski demikian, penutupan ini tidak selalu berarti kepergian permanen. Banyak di antara gerai yang ditutup justru dipindahkan (relokasi) ke lokasi baru yang dianggap lebih potensial. 

Wachjudi menegaskan bahwa di wilayah dengan daya beli masih baik, perseroan memilih menunggu kesempatan untuk membuka kembali gerai di lokasi yang lebih strategis.

Hingga kuartal II/2025, FAST masih mengoperasikan 698 gerai KFC di seluruh Indonesia. Angka ini memperlihatkan skala jaringan yang tetap luas meski ada pengurangan.

Kerugian Masih Mendera, Pendapatan Tergerus

Langkah penutupan gerai tidak lepas dari kondisi keuangan perseroan yang masih belum pulih. Pada semester I/2025, FAST mencatat rugi bersih Rp138,75 miliar. 

Meski jumlah kerugian itu turun tajam dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp348,83 miliar, beban finansial tetap menjadi tantangan serius.

Pendapatan pun ikut tertekan. Perseroan melaporkan penurunan 3,12% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi Rp2,4 triliun pada semester I/2025, dibandingkan Rp2,48 triliun pada semester I/2024. 

Penurunan ini menunjukkan daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih, sekaligus memberi sinyal bahwa bisnis makanan cepat saji masih menghadapi gejolak.

Rangkaian Pukulan Sejak Pandemi

Bila ditelusuri, perjalanan FAST dalam lima tahun terakhir memang sarat tantangan. Pandemi Covid-19 pada 2020 menjadi pukulan telak pertama. Aktivitas masyarakat yang terbatas membuat gerai-gerai KFC kehilangan pengunjung, sementara biaya operasional tetap harus ditanggung.

Belum selesai menghadapi dampak pandemi, FAST kemudian harus berhadapan dengan fenomena boikot yang berlangsung pada 2023 dan 2024. Gelombang boikot tersebut turut menekan penjualan di sejumlah wilayah.

“Kemudian ada boikot di 2023 dan 2024. Terakhir yang sedang kami hadapi saat ini adanya penurunan daya beli masyarakat, transaksi mengalami penurunan yang cukup besar,” kata Wachjudi.

Kombinasi antara boikot dan pelemahan daya beli masyarakat pada 2025 memperpanjang fase sulit bagi FAST. Transaksi yang menurun membuat banyak gerai tidak mampu bertahan, sehingga penutupan menjadi pilihan yang tak terelakkan.

Relokasi sebagai Strategi Bertahan

Meski menutup gerai, manajemen FAST tetap berusaha mencari peluang. Relokasi gerai menjadi strategi utama, terutama di daerah dengan potensi pasar masih tinggi. 

Dengan memindahkan gerai ke lokasi yang lebih strategis, perusahaan berharap bisa mengoptimalkan daya beli masyarakat yang masih bertahan.

Strategi ini diharapkan mampu menjaga brand KFC tetap dekat dengan konsumen, meskipun jumlah gerai secara keseluruhan berkurang. Bagi perseroan, menjaga eksistensi di pasar menjadi prioritas utama agar kepercayaan konsumen tidak hilang.

Tekanan Industri Cepat Saji

Apa yang dialami KFC Indonesia sesungguhnya mencerminkan tantangan besar yang dihadapi industri makanan cepat saji. Persaingan semakin ketat, baik dari sesama pemain global maupun dari merek lokal yang agresif menawarkan harga lebih terjangkau.

Selain itu, perubahan perilaku konsumen sejak pandemi juga memberi dampak. Tren belanja online, meningkatnya preferensi makanan sehat, serta ketidakpastian daya beli menambah kompleksitas persaingan. 

Dalam konteks ini, KFC yang menjadi salah satu pemain dominan justru mendapat sorotan lebih tajam.

Harapan untuk Pemulihan

Meski jalan masih terjal, peluang pemulihan tetap terbuka. Penurunan kerugian menunjukkan adanya hasil dari upaya efisiensi yang dilakukan manajemen. Selain itu, langkah-langkah relokasi dan adaptasi model bisnis bisa menjadi titik awal memperkuat kembali fondasi bisnis KFC di Indonesia.

Dengan dukungan para pemegang saham besar, termasuk Grup Salim dan keluarga Gelael, FAST diyakini masih memiliki ruang untuk melakukan restrukturisasi bisnis dan inovasi produk.

Kesimpulan

Tahun 2025 menjadi babak sulit lainnya bagi KFC Indonesia di bawah kendali PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST). Penutupan 19 gerai dan PHK terhadap 400 karyawan menjadi konsekuensi nyata dari kombinasi berbagai tekanan: pandemi yang berkepanjangan dampaknya, boikot, hingga pelemahan daya beli masyarakat.

Namun, dengan strategi relokasi, efisiensi, serta adaptasi terhadap tren baru konsumen, perseroan masih memiliki peluang untuk bangkit. 

Tantangannya kini adalah menjaga agar KFC tetap relevan di mata masyarakat Indonesia, sembari memulihkan kinerja keuangan yang tergerus dalam beberapa tahun terakhir.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index