Tekstil Sritex

Raksasa Tekstil Sritex Resmi Tutup Permanen: Dampak pada 10.665 Pekerja dan Masa Depan Saham SRIL

Raksasa Tekstil Sritex Resmi Tutup Permanen: Dampak pada 10.665 Pekerja dan Masa Depan Saham SRIL
Raksasa Tekstil Sritex Resmi Tutup Permanen: Dampak pada 10.665 Pekerja dan Masa Depan Saham SRIL

Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), yang dikenal dengan nama Sritex, sebuah perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia, telah menghentikan operasi secara permanen pada tanggal 1 Maret 2025. Keputusan ini diiringi dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh karyawan, yang berjumlah 10.665 orang. Keputusan penutupan ini menjadi berita besar di industri tekstil Indonesia dan menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan saham perusahaan tersebut, Rabu, 5 Maret 2025.

Seiring dengan penutupan Sritex, Direktur Penilaian Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna memberikan pernyataan resmi mengenai status hukum dari Sritex yang kini dinyatakan pailit. "Dalam hal ini, SRIL resmi dinyatakan pailit dan Bursa akan menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana diatur dalam POJK 45 tahun 2024," ujar Nyoman dalam keterangannya.

Penutupan ini bukanlah kejutan sepenuhnya bagi pasar. Saham SRIL telah mengalami suspensi sejak 18 Mei 2021. Menurut Nyoman, masa suspensi ini telah melebihi 24 bulan, yang berarti sesuai dengan ketentuan III.1.3.3 dalam Peraturan Bursa Nomor I-N, saham perusahaan yang mengalami suspensi efek di seluruh pasar lebih dari 24 bulan dapat dikenakan delisting.

Delisting bukan hanya soal teknis penghapusan saham dari daftar bursa, tetapi juga terkait dengan perlindungan investor. "Peraturan Bursa nomor I-N delisting atas suatu perusahaan tercatat dapat disebabkan salah satunya karena, III.1.3.3. Saham perusahaan tercatat telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir," jelas Nyoman.

Menjaga Kepercayaan dan Perlindungan Investor

Dalam proses delisting dan perubahan status perusahaan dari terbuka menjadi tertutup, perlindungan investor menjadi faktor krusial. Pasal 18 POJK 45 tahun 2024 menetapkan bahwa perubahan status tersebut harus memenuhi sejumlah syarat, di antaranya adalah mendapatkan persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan melakukan pembelian kembali seluruh saham yang dimiliki oleh pemegang saham publik hingga jumlah pemegang saham berkurang menjadi kurang dari 50 pihak atau sesuai ketentuan yang ditetapkan OJK.

OJK juga menetapkan prosedur dan jangka waktu pelaksanaan RUPS, sementara pembelian kembali saham harus diselesaikan dalam waktu enam bulan setelah penyampaian keterbukaan informasi terkait pelaksanaan buyback. Jika diperlukan, periode ini dapat diperpanjang satu kali dengan durasi maksimal enam bulan untuk memenuhi ketentuan OJK.

Nyoman menekankan pentingnya koordinasi antara Bursa Efek Indonesia dan OJK dalam setiap langkah yang diambil untuk memastikan bahwa proses delisting berjalan sesuai ketentuan. "Sehubungan dengan perubahan status dari perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup termasuk proses delisting, Bursa akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan OJK," kata Nyoman.

Imbas Bagi Industri Tekstil

Keputusan penutupan Sritex tidak saja berdampak pada karyawannya, tetapi juga menimbulkan efek domino pada industri tekstil di Indonesia. Dengan lebih dari sepuluh ribu karyawan yang terdampak, tantangan terbesar adalah mencari solusi bagi tenaga kerja dan mencari alternatif pekerjaan di sektor lain.

Sritex, selama ini dikenal sebagai salah satu produsen tekstil terbesar, menyuplai kebutuhan bahan baku untuk berbagai produk mode di tanah air. Selain itu, perusahaan ini juga memiliki pasar ekspor yang kuat, yang artinya penghentian operasionalnya akan berdampak pada supply chain global.

Penutupan ini juga membangkitkan diskusi lebih luas mengenai tantangan yang dihadapi oleh industri tekstil di Indonesia, termasuk persaingan global yang ketat, fluktuasi harga bahan baku, dan perubahan preferensi konsumen.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index