Jakarta - Industri pertambangan Indonesia dihadapkan pada tantangan besar dalam memenuhi standar praktik Environmental, Social, and Governance (ESG), yang menjadi perhatian utama tidak hanya bagi perusahaan besar tetapi juga bagi perusahaan kecil. Dewan Pakar Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rudi Sayoga Gautama, menyoroti pentingnya isu ini dalam acara ‘Mining Workshop for Journalist’ di Jakarta, Selasa, 4 Maret 2025.
Menurut Rudi, seringkali ada anggapan bahwa hanya perusahaan besar yang wajib mematuhi standar ESG. Padahal, perusahaan kecil juga harus menerapkannya secara proporsional. “Dampak dari tambang kecil tidak kalah besar dengan yang besar jika tidak dikelola dengan baik,” tegasnya.
Dalam dunia pertambangan global, proyek-proyek terbesar berlokasi di China dengan 1.400 proyek menghasilkan total 134 juta ton. Selanjutnya, Kanada dengan 396 proyek menghasilkan 36 juta ton dan Indonesia menempati urutan berikutnya dengan 405 proyek yang menghasilkan total 8,1 juta ton.
Dalam konteks ini, Rudi menekankan betapa seriusnya perlunya penerapan ESG, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. “Banyak orang berpikir bahwa tambang di negara maju lebih ramah lingkungan, padahal beberapa negara besar seperti Amerika Serikat dan Kanada juga memiliki banyak proyek tambang,” ujarnya.
Aturan reklamasi dan pascatambang di Indonesia telah ada sejak 1991 dan diperbarui pada 2008. Namun, penerapan aturan ini terkendala oleh proses yang panjang dan menantang. “Reklamasi lahan bekas tambang tidak bisa rampung selama beberapa bulan, tapi waktu yang panjang. Reklamasi itu bukan proses yang instan, butuh waktu bertahun-tahun agar lahan bekas tambang kembali berfungsi dengan baik. Oleh karena itu, perlu adanya komitmen jangka panjang dari semua pihak,” jelas Rudi.
Selain fokus pada lingkungan, standar ESG juga mencakup tata kelola perusahaan yang baik dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat sekitar tambang. “Penerapan ESG tidak hanya menjaga lingkungan hidup di suatu industri, tapi juga memikirkan tata kelola perusahaan dan kesejahteraan sosial bagi lingkungan sekitar,” tambah Rudi.
Kesadaran tentang pentingnya standar ESG semakin meningkat seiring waktu. Banyak perusahaan pertambangan mulai melihat ESG bukan hanya sebagai kewajiban tetapi juga sebagai peluang untuk meningkatkan reputasi perusahaan di mata publik dan investor.
Namun demikian, Rudi mengingatkan bahwa implementasi ESG masih harus ditingkatkan. "Implementasi kebijakan dan peraturan yang ada sering kali tidak konsisten dan perlu pengawasan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa praktik-praktik terbaik diterapkan," katanya.
Tantangan ini memberikan peluang bagi pemerintah dan sektor swasta untuk berkolaborasi dalam memperkuat regulasi dan pengawasan. Dampaknya, jika diterapkan dengan benar, standar ESG dapat memberikan kontribusi positif tidak hanya terhadap bisnis tetapi juga terhadap masyarakat dan lingkungan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Rudi, penting bagi semua pihak untuk melihat ESG sebagai langkah strategis jangka panjang, bukan sekadar formalitas semata. Dengan begitu, industri pertambangan di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan dan tetap kompetitif di panggung global.
Dengan perhatian yang tepat terhadap ESG, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan manfaat ekonomi tetapi juga memperkuat posisi negaranya sebagai pemain utama dalam industri pertambangan global yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.