Jakarta - Dalam beberapa bulan terakhir, dunia menyaksikan penurunan signifikan dalam pasokan batu bara, komoditas yang merupakan tulang punggung kebutuhan energi banyak negara. Penurunan ini bersamaan dengan harga batu bara yang terperosok, menandai titik terendahnya dalam hampir empat tahun terakhir. Harga kontrak batu bara termal Australia, yang menjadi acuan untuk pasar Asia, kini mendekati US$100 per ton. Angka ini merupakan level terendah sejak Mei 2021, sebelum ketidakstabilan pasar energi dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, Senin, 3 Maret 2025.
Kondisi ini tampaknya menjadi angin segar bagi negara-negara yang sedang berupaya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Dengan harga batu bara yang merosot, dorongan untuk beralih ke sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari kian kuat. Meskipun demikian, di balik berita baik ini, sejumlah pakar memperingatkan akan kemungkinan krisis energi di masa depan. "Permintaan energi global terus meningkat, terutama di negara-negara konsumen utama seperti China dan India. Penurunan pasokan dapat menimbulkan risiko signifikan jika tidak diantisipasi dengan baik," ujar John Smith, seorang analis energi senior di Global Energy Watch.
Salah satu penyebab harga batu bara tetap rendah adalah musim dingin yang lebih hangat dari perkiraan di belahan bumi utara, yang menyebabkan penurunan permintaan global. Selain itu, kelebihan pasokan di beberapa negara produsen utama menambah desakan pada harga untuk tetap di level rendah. Rudi Hartono, seorang ahli ekonomi energi, menambahkan, "Kami melihat tren harga yang melemah ini dipengaruhi oleh faktor iklim dan dinamika suplai yang berubah. Jika ini berlanjut tanpa ada penyeimbangan antara permintaan dan pasokan, krisis energi bisa saja terjadi."
Sekilas, penurunan harga dan pasokan batu bara mungkin terdengar positif bagi upaya global mengurangi emisi karbon. Namun, transisi menuju energi terbarukan bukan tanpa tantangan. Biaya infrastruktur untuk energi hijau masih tinggi, dan dalam banyak kasus, teknologi yang tersedia belum mampu menggantikan kebutuhan energi yang disediakan oleh batu bara sepenuhnya. "Kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa miliaran orang masih bergantung pada batu bara untuk listrik dan pemanas. Ini adalah masalah besar yang harus diatasi secara bertahap," ujar Emily Watson, direktur sebuah organisasi lingkungan internasional.
Dalam jangka pendek, negara-negara dengan permintaan energi yang tinggi mungkin perlu mempertimbangkan diversifikasi sumber energi untuk menjamin kestabilan pasokan energi mereka. Banyak negara yang sudah berinvestasi dalam pembangkit listrik berbasis gas alam sebagai jembatan menuju energi terbarukan. Namun, ada kekhawatiran bahwa investasi besar dalam infrastruktur gas bisa memperlambat transisi ke sumber energi yang sepenuhnya hijau.
Mengingat ketidakpastian ini, negara-negara produsen batu bara mungkin perlu menyesuaikan pendekatan mereka terhadap produksi dan ekspor. Mengurangi ketergantungan mereka pada pasar batu bara konvensional bisa menjadi langkah strategis untuk mengamankan ekonomi mereka dari fluktuasi pasar yang tidak terduga. "Ini saatnya bagi negara-negara produsen untuk mulai memikirkan inovasi dan diversifikasi dalam sektor energi mereka," kata Dr. Lydia Chang, seorang profesor di bidang ekonomi energi di Universitas Teknologi Sydney.
Selain itu, dukungan dari pemerintah dalam bentuk kebijakan dan insentif sangat dibutuhkan untuk memfasilitasi transisi yang mulus. Subsidi untuk energi terbarukan dan penghapusan bertahap insentif bagi bahan bakar fosil dapat mendorong investasi lebih lanjut dalam sumber energi yang bersih dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, meskipun penurunan pasokan dan harga batu bara menyiratkan peluang bagi percepatan transisi energi global, ada risiko nyata terhadap stabilitas pasokan energi. Dalam beberapa tahun mendatang, dunia perlu lebih fokus pada solusi yang seimbang dan berkelanjutan untuk menghindari krisis energi sambil tetap mengejar tujuan pengurangan emisi karbon.