JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengungkapkan keyakinannya terhadap potensi kesepakatan dagang dengan India, sembari menyampaikan keraguannya terhadap peluang yang sama dengan Jepang. Dalam pernyataannya kepada awak media di atas pesawat kepresidenan Air Force One, Trump menyatakan bahwa India mulai menunjukkan sinyal positif terkait penurunan hambatan perdagangan, yang menurutnya bisa membuka jalan bagi kesepakatan yang saling menguntungkan.
Trump secara terbuka menyebutkan bahwa India kemungkinan akan menurunkan tarif tinggi yang selama ini menyulitkan perusahaan-perusahaan Amerika untuk bersaing di pasar negara Asia Selatan tersebut. Namun, ia justru skeptis terhadap prospek kerja sama yang sama dengan Jepang. "Saat ini, India tidak menerima siapa pun. Saya pikir India akan melakukan itu. Jika mereka melakukannya, kita akan mendapatkan kesepakatan dengan tarif yang lebih rendah, jauh lebih rendah," ujar Trump.
Pernyataan tersebut menandai pergeseran fokus AS dari Jepang ke India dalam upaya mengamankan perjanjian dagang strategis menjelang berakhirnya masa tenggang tarif pada 9 Juli. Sebelumnya, Trump sempat menetapkan tarif baru sebesar 26 persen yang diumumkan pada 2 April, namun kemudian ditunda hingga awal Juli guna memberi ruang negosiasi.
India Dinilai Lebih Siap Buka Diri
Pemerintah India, melalui perpanjangan kunjungan delegasinya ke Washington hingga 30 Juni lalu, menunjukkan keseriusannya untuk menjembatani perbedaan pandangan dengan AS. Mereka mencoba menciptakan titik temu atas isu-isu sensitif dalam hubungan dagang kedua negara, mulai dari tarif komponen otomotif, baja, hingga produk pertanian.
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, dalam wawancara dengan Fox News juga mengonfirmasi bahwa kemajuan sedang terjadi dalam perundingan. Ia menyatakan bahwa kesepakatan dengan India hampir tercapai. "Kami sangat dekat dengan India," ujar Bessent ketika menjawab pertanyaan mengenai progres negosiasi dagang.
Hal ini sejalan dengan strategi pemerintahan Trump untuk memprioritaskan negara-negara yang dinilai lebih terbuka terhadap reformasi dagang, terutama dalam masa menjelang tenggat waktu yang semakin dekat.
Jepang Dianggap Buntu, India Jadi Fokus
Sementara India disebut-sebut semakin terbuka, Jepang justru digambarkan oleh Gedung Putih sebagai mitra yang sulit diajak maju dalam perundingan. Seorang pejabat AS yang mengetahui pembicaraan menyebut bahwa Jepang tak menunjukkan respons sepositif India, sehingga Washington memutuskan untuk lebih memfokuskan energinya kepada negara-negara lain, termasuk India, dalam upaya mengejar kesepakatan sebelum 9 Juli. "Kami tengah mengupayakan perjanjian dagang dengan sejumlah negara, termasuk India, sebelum batas waktu tersebut," ungkap sumber di Gedung Putih.
India sendiri adalah satu dari banyak negara yang sedang berpacu dengan waktu demi menghindari kenaikan tarif besar-besaran dari AS. Jika tidak tercapai kesepakatan, tarif terhadap produk India yang diekspor ke Amerika bisa melonjak menjadi 27 persen dari sebelumnya hanya 10 persen.
Negosiasi Sulit, tapi Masih Berjalan
Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, juga mengakui bahwa perundingan dengan AS bukanlah perkara mudah. Dalam pernyataannya di sebuah forum di New York, ia menggambarkan proses negosiasi sebagai rumit, namun masih berada di jalur yang memungkinkan untuk menghasilkan hasil positif. "Kita berada di tengah-tengah, mudah-mudahan lebih dari sekadar tengah-tengah – negosiasi perdagangan yang sangat rumit," ujar Jaishanka pada 30 Juni. "Tentu saja, harapan saya adalah kita akan mencapai kesimpulan yang sukses. Saya tidak dapat menjaminnya, karena ada pihak lain dalam diskusi itu," imbuhnya.
Jaishankar berada di AS dalam rangka menghadiri pertemuan kelompok Quad yang berfokus pada isu Tiongkok, namun agenda bilateral dengan pemerintahan Trump juga dimanfaatkan untuk mempercepat proses perundingan dagang.
Strategi AS Menghadapi Lonjakan Tarif
Langkah AS yang mengancam pemberlakuan tarif timbal balik sebenarnya adalah bagian dari strategi yang lebih besar untuk menekan mitra dagang agar membuka pasarnya bagi produk Amerika. Pemerintah Trump telah beberapa kali menerapkan taktik ini kepada negara-negara seperti Tiongkok dan Meksiko, dan kini pendekatan serupa diterapkan ke India.
Dengan pendekatan "tarif dulu, runding kemudian", pemerintahan Trump berharap dapat menciptakan tekanan politik dan ekonomi yang cukup untuk memaksa negara-negara mitra memberikan konsesi. Namun strategi ini tidak selalu berhasil. Dalam kasus Jepang, misalnya, ketegangan dagang terus berlanjut tanpa adanya kepastian kesepakatan jangka pendek.
AS Mainkan Kartu Tarif di Menit Terakhir
Situasi perdagangan AS dengan India menunjukkan betapa dinamisnya strategi pemerintahan Trump. Meskipun sebelumnya hubungan dagang dengan India sempat menegang, Trump kini melihat peluang untuk menghindari kenaikan tarif melalui kompromi. Kesempatan ini dimanfaatkan penuh oleh India dengan mengintensifkan negosiasi, bahkan memperpanjang kehadiran delegasinya di Washington.
Sebaliknya, minimnya kemajuan dalam dialog dengan Jepang menjadikan negara tersebut kurang diprioritaskan, setidaknya dalam waktu dekat. Bagi AS, hasil konkret lebih utama daripada sekadar menjalin hubungan diplomatis formal.