Hiperinflasi adalah salah satu istilah penting dalam ilmu ekonomi yang perlu dipahami. Apa penyebab, dampak, dan cara mengatasinya?
Secara umum, hiperinflasi merujuk pada kondisi inflasi yang begitu parah sehingga mengancam stabilitas sektor ekonomi di suatu negara.
Pada dasarnya, hiperinflasi adalah fenomena yang penting untuk dikenali dan dipahami. Namun, apa yang sebenarnya dimaksud dengan hiperinflasi, dan bagaimana dampaknya serta upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasinya?
Untuk lebih jelasnya, kamu bisa menyimak pembahasan lengkap tentang fenomena hiperinflasi di artikel berikut.
Hiperinflasi adalah
Hiperinflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa meningkat secara berlebihan dalam waktu singkat, dan situasi ini berlangsung di luar kendali.
Dalam kondisi hiperinflasi, lonjakan harga jauh lebih tinggi daripada inflasi biasa, dengan laju kenaikan harga barang bahkan bisa mencapai lebih dari 50% setiap bulan.
Akibatnya, harga barang yang berlaku di pagi hari bisa berubah drastis pada sore hari. Kenaikan harian yang eksponensial pada situasi ini dapat mencapai 5—10% dalam satu hari, berbeda dari inflasi normal yang diukur berdasarkan kenaikan harga bulanan.
Dampak hiperinflasi terhadap perekonomian sangat besar, sering kali memicu penimbunan barang dan kelangkaan bahan makanan.
Selain itu, sektor perbankan juga terpengaruh; nilai tabungan di bank akan menurun, dan investasi pun bisa kehilangan nilainya di tengah kondisi hiperinflasi ini.
Perbedaan Inflasi dan Hiperinflasi
Inflasi dan hiperinflasi memang berbeda. Lantas, apa yang membedakan keduanya? Perbedaan utama terletak pada definisi masing-masing. Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi secara konsisten dalam jangka waktu tertentu.
Sebaliknya, hiperinflasi mengacu pada kondisi inflasi ekstrem dengan tingkat kenaikan yang bisa mencapai 50 hingga 100% lebih tinggi daripada inflasi biasa.
Perbedaan lain tampak pada periode pengukurannya: inflasi diukur berdasarkan periode bulanan, sedangkan hiperinflasi dihitung dalam interval harian.
Faktor Penyebab Hiperinflasi
Berikut ini adalah beberapa faktor yang menyebabkan hiperinflasi yang penting untuk diketahui:
1. Kebijakan Pencetakan Uang untuk Menutupi Defisit Anggaran
Pemerintah membutuhkan dana besar untuk mendukung berbagai program pembangunan. Sumber dana ini biasanya berasal dari pajak, pencetakan uang, dan utang luar negeri.
Jika pemerintah mengambil langkah mencetak uang dalam jumlah besar, harga barang akan meningkat, sedangkan nilai uang mengalami penurunan. Pada tahap ini, hiperinflasi dapat terjadi.
2. Perang
Perang juga menjadi salah satu penyebab hiperinflasi. Konflik berskala besar di suatu negara biasanya menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomiannya.
Ketika sebuah negara berperang, banyak faktor ekonomi dan produksi tidak dapat dimaksimalkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Biaya yang besar diperlukan untuk mendukung kebutuhan perang, seperti suplai senjata dan logistik lainnya.
Akibatnya, perhatian pemerintah yang sebelumnya berfokus pada pembangunan ekonomi beralih untuk menangani situasi perang.
Hal ini mengakibatkan produktivitas dan pendapatan nasional menurun, yang selanjutnya berpotensi memperburuk hiperinflasi.
3. Kondisi Sosial-Politik yang tidak Stabil
Selain faktor-faktor sebelumnya, hiperinflasi dapat terjadi akibat situasi sosial-politik yang buruk di suatu negara. Konflik dalam negeri cenderung berdampak negatif pada stabilitas ekonomi.
Ketika ketidakstabilan terjadi, fasilitas publik sering menjadi sasaran perusakan. Jika kekacauan terus berlanjut, pertumbuhan ekonomi akan terhambat karena proses produksi tidak dapat berjalan secara optimal.
Ketika produksi menurun, pendapatan nasional juga akan mengalami penurunan, sehingga memperburuk dampak hiperinflasi.
Dampak Hiperinflasi terhadap Perekonomian
Lantas, bagaimana hiperinflasi mempengaruhi perekonomian suatu negara? Dalam kondisi hiperinflasi, kenaikan harga barang tidak diimbangi dengan kenaikan upah pekerja sebagaimana yang terjadi dalam ekonomi yang stabil.
Ketika harga-harga melambung secara drastis dan tidak terkendali, nilai uang tunai maupun tabungan di bank akan terus menurun. Bahkan, uang tunai bisa kehilangan daya belinya sama sekali karena daya beli masyarakat semakin melemah.
Dampak dari situasi ini adalah ketidakstabilan sosial-ekonomi masyarakat. Masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mungkin terdorong melakukan penjarahan di toko atau pasar.
Di sektor finansial, hiperinflasi bisa menyebabkan kebangkrutan, karena orang-orang tidak mampu lagi menyisihkan uang untuk menabung.
Pendapatan negara dari pajak pun ikut merosot, sebab para wajib pajak tidak lagi sanggup memenuhi kewajiban mereka. Akibatnya, pemerintah pun menjadi kesulitan untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi warganya.
Hiperinflasi di Indonesia
Apakah hiperinflasi pernah terjadi di Indonesia? Jawabannya: pernah. Hiperinflasi di Indonesia terjadi pada awal 1960-an ketika defisit anggaran kian membesar, dan pemerintah memutuskan untuk mencetak uang sebagai solusi.
Sayangnya, keputusan ini justru memperburuk kondisi ekonomi, mengakibatkan inflasi yang melonjak drastis hingga mencapai angka lebih dari 100%.
Keadaan semakin parah ketika kepercayaan masyarakat terhadap nilai uang menurun. Akibatnya, masyarakat segera membelanjakan uang mereka, khawatir nilainya akan terus merosot.
Pada puncaknya, hiperinflasi mencapai lebih dari 600%, mengikis daya beli masyarakat dan membebani APBN secara besar-besaran.
Fasilitas publik dan infrastruktur seperti jalan raya pun kian rusak akibat minimnya perawatan, dan transportasi darat ikut terdampak.
Lebih jauh lagi, dampak hiperinflasi pada 1960-an juga menghambat kapasitas produksi industri hingga hanya mampu beroperasi pada 20% dari total kapasitasnya.
Indonesia juga kesulitan melakukan ekspor untuk memperoleh devisa. Tanpa devisa, impor tidak bisa berjalan, sementara utang negara membengkak dan sulit dilunasi, sehingga kepercayaan negara lain terhadap Indonesia pun menurun.
Untuk menangani hiperinflasi, pemerintah saat itu berupaya melakukan pinjaman nasional, menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI), dan mendirikan Banking and Trading Company.
Meski demikian, krisis ekonomi yang serius ini baru berakhir ketika Presiden Soekarno turun dari jabatannya.
Hiperinflasi di Negara Lain
Zimbabwe pernah menjadi sorotan dunia karena mengalami hiperinflasi parah pada 2007. Hiperinflasi ini dipicu oleh kebijakan redistribusi tanah, di mana tanah yang sebelumnya dikelola oleh petani kulit putih (berketurunan Eropa) dialihkan ke petani lokal.
Namun, karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan petani setempat, lahan-lahan tersebut tidak dapat berproduksi dengan baik seperti sebelumnya.
Penurunan produktivitas pertanian ini menyebabkan persediaan pangan berkurang drastis, yang kemudian memicu kenaikan harga bahan makanan.
Selain itu, Zimbabwe terlibat dalam konflik dengan Kongo, yang menambah tekanan ekonomi dan mengakibatkan kelangkaan bahan makanan serta pasokan bahan bakar.
Pelayanan kesehatan pun ikut terdampak, tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada puncaknya di 2008, tingkat hiperinflasi Zimbabwe mencapai angka luar biasa, yaitu 79 miliar persen.
Namun, Zimbabwe akhirnya berhasil keluar dari krisis ini dengan menerapkan kebijakan multi-currency, yang memungkinkan penggunaan mata uang asing dalam transaksi domestik sebagai cara untuk menstabilkan perekonomian negara.
Cara Mengatasi Hiperinflasi
Untuk mengatasi hiperinflasi, berikut adalah langkah-langkah terbaik yang bisa diambil pemerintah:
-Menurunkan anggaran belanja negara: Mengurangi pengeluaran pemerintah dapat membantu mengurangi tekanan inflasi.
-Memberikan stimulus untuk UMKM: Pemerintah dapat mendukung UMKM dengan memberikan stimulus agar mampu meningkatkan produksi dan menyesuaikan upah minimum, yang juga akan memperkuat APBN.
-Mengumpulkan penerimaan sebagai dana penyangga: Dana yang terkumpul dari APBN digunakan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat miskin saat terjadi hiperinflasi.
-Mendorong UMKM menggunakan bahan baku lokal: Agar produksi meningkat dan dampak hiperinflasi berkurang, UMKM didorong untuk memakai bahan baku dalam negeri, sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor.
-Meningkatkan kualitas produk UMKM: Meningkatkan kualitas barang yang dihasilkan dapat membantu mengurangi impor, terutama di sektor pangan dan energi.
-Meningkatkan konsumsi produk lokal: Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penggunaan produk dalam negeri, memperkuat ketahanan ekonomi lokal.
-Memperkuat ketahanan pangan dan energi: Pemerintah perlu memanfaatkan sumber daya lahan secara optimal untuk memperkuat kemandirian pangan dan energi.
-Stabilitas ekonomi dan partisipasi masyarakat: Nilai mata uang yang melemah dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi, sehingga masyarakat perlu menyusun anggaran rumah tangga dengan bijak dan tidak menimbun bahan pokok, terutama kebutuhan dasar.
Sebagai kesimpulan, hiperinflasi adalah ancaman serius bagi stabilitas ekonomi yang memerlukan langkah-langkah terpadu dari pemerintah dan masyarakat untuk menekan dampaknya dan menjaga daya beli masyarakat serta keberlanjutan perekonomian.