Nasional Soroti Keras Putusan MK Soal Pemilu Terpisah

Rabu, 02 Juli 2025 | 11:19:23 WIB
Nasional Soroti Keras Putusan MK Soal Pemilu Terpisah

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah mulai tahun 2029 menuai gelombang penolakan dari sejumlah partai politik besar di Senayan. Keputusan ini bukan hanya memicu kontroversi, tetapi juga dianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap konstitusi serta membahayakan stabilitas sistem ketatanegaraan Indonesia.

Suara lantang penolakan tidak datang dari satu dua pihak saja. Banyak elit politik menilai MK telah bertindak di luar kewenangannya, hingga menciptakan norma baru yang semestinya menjadi ranah legislatif dan eksekutif.

Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar, mengonfirmasi bahwa keresahan atas putusan MK ini sangat luas. Setelah menggelar rapat terbatas dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu, DPR menyimpulkan bahwa hampir semua pihak yang hadir menyuarakan ketidakpuasan terhadap keputusan tersebut. “Hampir semua (mengeluhkan),” ujar Adies saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Nasdem Anggap MK Langgar Konstitusi

Partai Nasdem menjadi salah satu partai yang mengeluarkan pernyataan keras secara resmi. Mereka tidak hanya menyayangkan putusan MK, tetapi juga menuding lembaga yudikatif tersebut telah mencuri kedaulatan rakyat.

Dalam pembacaan sikap resmi Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem yang berlangsung di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (30/6/2025) malam, anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem Lestari Moerdijat menyampaikan sepuluh poin keberatan Nasdem atas putusan itu.

"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini menimbulkan problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara," kata Lestari.

Menurutnya, dengan memutuskan pemilu nasional dan daerah diselenggarakan secara terpisah, MK telah bertindak sebagai pembuat norma hukum yang bukan menjadi kewenangannya. Nasdem menilai MK telah mengintervensi kewenangan DPR dan pemerintah, sehingga melanggar prinsip open legal policy yang menjadi hak legislatif dalam sistem demokrasi.

"MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum demokratis," lanjut Lestari.

Salah satu poin yang menjadi sorotan Nasdem adalah ketidaksesuaian dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun. Jika pemilu daerah ditunda karena pemisahan jadwal, maka masa jabatan anggota DPRD akan diperpanjang tanpa pemilu, yang menurut Nasdem sama sekali tidak memiliki legitimasi rakyat.

"Jika masa jabatan anggota DPRD diperpanjang tanpa pemilu, maka mereka menjabat tanpa legitimasi rakyat. Ini jelas inkonstitusional," tegas Lestari.

Tak hanya itu, Nasdem bahkan menyebut bahwa MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat. Mereka mendesak DPR untuk meminta penjelasan resmi dari MK terkait tafsir konstitusional yang digunakan dalam putusan tersebut.

“Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat. Partai Nasdem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” ucap Lestari.

Golkar: Pemerintahan Bisa Terganggu

Dari kubu Partai Golkar, Adies Kadir turut menyuarakan kekhawatiran atas dampak yang bisa timbul dari implementasi putusan MK. Ia menilai bahwa kebijakan memisahkan pemilu nasional dan daerah dapat mengganggu konsistensi program pemerintah serta menimbulkan ketidakpastian hukum.

Menurut Adies, secara konstitusional, pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu kesatuan rezim pemilu yang harus diselenggarakan setiap lima tahun. Hal ini tertuang dalam Pasal 22E dan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.

Adies juga mengingatkan bahwa putusan MK sebelumnya, yakni Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, justru mendukung keserentakan pemilu sebagai bentuk penguatan sistem demokrasi.

Artinya, putusan baru MK kali ini dinilai kontradiktif terhadap putusan sebelumnya yang memperjuangkan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pemilu serentak.

“Ini akan menimbulkan kebingungan dalam penjadwalan dan menambah beban logistik serta anggaran. Dampaknya bisa langsung terasa pada jalannya pemerintahan,” jelasnya.

MK Vs DPR?

Muncul pertanyaan besar di ruang publik: apakah ini awal dari ketegangan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat? Karena di satu sisi, MK merasa menjalankan fungsi pengujian konstitusional, namun di sisi lain DPR dan partai politik menilai MK telah menyusupi ranah kerja legislatif.

Gelombang kritik ini seakan menjadi penegas bahwa relasi antar-lembaga negara kembali berada di ujung tanduk. Terlebih lagi, jika permintaan Nasdem agar DPR memanggil MK dikabulkan, maka akan ada pertarungan terbuka soal tafsir konstitusi dan batas kekuasaan.

Bagi publik, yang terpenting adalah menjaga agar sistem demokrasi tidak terguncang akibat pertarungan tafsir ini. Sebab pada akhirnya, pemilu bukan hanya soal prosedur lima tahunan, melainkan bentuk kedaulatan rakyat itu sendiri.

Terkini

Lenovo 300E Chromebook Generasi Dua Laptop Murah Fleksibel

Jumat, 12 September 2025 | 17:15:53 WIB

6 Shio Mendapat Kesempatan Membuka Hati dan Menerima Kasih

Jumat, 12 September 2025 | 17:15:51 WIB

Haechan NCT Bersinar Debut Solo Lewat Album TASTE

Jumat, 12 September 2025 | 17:15:50 WIB